Syeikh
Abbas Kuta Karang
merupakan seorang Ulama Aceh yang hidup pada masa Kesultanan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah Tahun (1273-1286 H) 1857-1870
Masehi. Dengan disiplin ilmu serta mempunyai pengetahuan yang sangat luas
Syeikh Abbas Kuta Karang diangkat oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah menjadi Qhadhi Malikul Adil (Mufti) di
Kerajaan Aceh pada masa itu. Menurut hasil penelitian dari beberapa artikel
tentang beliau. Beliau merupakan seorang ulama yang intelektual, dari disiplin
ilmu yang beliau kuasai Syeikh Abbas Kuta Karang merupakan Seorang Pengarang, Ahli Pengobatan,
Ahli Ilmu Perbintangan, Serta Ahli Tata Negara (Negarawan) pada masa itu.
Ulama Besar dari Aceh ini pertama kali
diperkenalkan oleh Syeikh ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi dengan hasil karya
beliau yang berjudul Sirajul Zhalam Fi
Ma’rifatis Sa’di Wan Nahasi Fis Syuhuri Wal Aiyam yang dicetak pada Bab
pertama Grup Tajul Muluk.
Dari
Informasi yang didapat penulis melalui Blog Mehrir ada beberapa karya-karya beliau yang
ditemukan dalam bentuk manuskrip diantaranya yang berjudul Qunu ’liman
Ta’athtuf. Adapun karya beliau dalam bentuk manuskrip ada beberapa buah yang
tersimpan di Museum Islam Pusat Islam di Kuala Lumpur serta terdapat juga di
Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Di Negara Malaisia serta Koleksi dari
penulis Blog Mehrir.
Untuk
Lebih Jelasnya tentang Informasi dari keberadaan hasil karya-karya beliau dalam
bentuk manuskri yang di ciptakan Oleh Syeikh Abbas Kuta Karang sobat bisa Baca Disini
Semasa hidup Syeikh Abbas Kuta Karang banyak
sekalai menghasilkan karya-karya ilmyah, adapun hasil karya dan pemikiran beliau
diantaranya adalah :
- Qunu 'liman Ta'aththuf, diselesaikan pada 8 Rabiulakhir 1259 H/1843 M di Mekah. Manuskrip judul ini tersimpan di Museum Islam Pusat Islam dengan nomor MI 220, disalin oleh Muhammad Kadak bin Ismail Jering, Kampung Dala, Pattani, pada bulan Rajab. Penyalin berasal dari Kampung Bendang Daya Pattani, tanpa kenyataan tahun penyalinan. MI 513 disalin pada 1296 H/1878 M, dan MI 670 manakala yang tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu pula adalah MS 221 (B) disalin pada hari Selasa, Syakban 1296 H/1878 M di Mekah. Selain itu, ada juga koleksi penulis sendiri dari bekas kepunyaan Muhammad Abdur Rahman bin Lebai Muhammad, Kampung Kepala Bukit, Senggora, disalin pada 1300 H/1882 M.
- Kitab Sirajuz Zhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahasi fisy Syuhuri wal Aiyam, diselesaikan pada waktu Dhuha, Senin, 9 Rajab 1266 H/1849 M. Disalin oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi pada hari Sabtu, 28 Rabiulawal 1306 H/1888 M di Mekah. Cetakan mutawal yang telah ditemukan dalam judul Tajul Muluk oleh Matba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 H/1893 M. Ditashhih oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi kemudian diperiksa kembali oleh gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.
- Kitabur Rahmah. (kitab terjemahan dari bahasa Arab ini membahas tentang Ketabiban dan Obat-obatan alami yang hingga sekarang masih dipakai oleh tabib-tabib traditional di Aceh).
- Tazkiratur Rakidin
- Mau 'izhatul Ikhwan
Kitab ketiga dan keempat disebut oleh
Tuanku Abdul Jalil dalam kertas kerjanya. Menurutnya, Tazkiratur Rakidin,
berbentuk prosa Malayo-Aceh, Naskah Leiden, 1304 H. Selain dua kitab ini kitab
kelima juga disebut oleh M. Adnan Hanafiah dalam kertas kerjanya.
Apabila kita periksa keseluruhan karya Syeikh
Abbas Aceh, ia menyentuh disiplin ilmu falakiyah, hisab, hikmah, fiqh,
kedokteran, sastra dan politik.
Pada bagian akhir karyanya Qunu 'liman
Ta'aththuf, Syeikh Abbas Aceh menyebutkan bahwa dia oleh Mazhab Syafi'i dan
amalannya oleh Tarekat Khalwatiyah. Lainnya Qunu 'liman Ta'aththuf pada bagian
akhirnya terdapat dua risalah sebagai tambahan yang dipercaya merupakan catatan
Syeikh Abbas Aceh.
Risalah yang pertama mengenai masalah
anjing dan pamflet yang kedua, masalah hukum meninggalkan shalat. Masalah
anjing yang ia tulis, "Orang wathi '(menjimak) anjing atau anjing wathi'
orang maka beranak jadi manusia, maka wajib atasnya shalat dan puasa. Dan
jikalau ia alim, jadi kadi, maka sah ia menikah dengan orang. Dan dijadikan
iman pun sah , tetapi haram sembelihannya. Dan jikalau ayahnya orang dan ibunya
anjing, dan anaknya jadi orang, maka sah berimam akan dia, dan sembelihannya
haram jua. Dan air matanya, dan air liurnya, dan ... (naskah rusak), dan basah
farajnya, maka sekalian itu suci. Khilaf bagi Syeikh Ibnu Hajar dan Syeikh
Ramli ... "
Kita periksa pula Sirajuz Zhalam, pada
bagian Mukadimah, Syeikh Abbas Aceh menulis, "Maka bahwasanya bertitah
oleh orang yang empunya kebesaran dan kemegahan pangkatnya, adalah yang
menanggung panji-panji syariat dalam negeri Aceh yang mahrus, dan itulah tuan
kita, sultan yang kebesaran pangkatnya , dan kemuliaan nasabnya, dan kebesaran
kepujiannya, itulah sultan yang dilaqab dengan sultan Manshur Billah Syah ibnu
Sultan Johor al-Alam Syah.
Akan bahwasanya aku kerjakan baginya
suatu risalah yang Mukhtasar dengan bahasa Jawi pada menyatakan mengenal segala
hari bulan Arab. Dan mengenal segala saat bagi segala hari dan dari bulan
...", demikian yang tertulis pada semua Sirajuz Zhalam yang pernah
dicetak.
Tetapi ada beberapa manuskrip di kata
"... ibnu Sultan Johor al-Alam Syah" itu ditulis dengan "...
ibnu Sultan Fathani al-Alam Syah". Ada tiga tempat dalam kitab Sirajuz
Zhalam itu menyebutkan nama itu, dan pada ketiga tempat itu semuanya berbeda
tulisannya, "... ibnu Sultan Johor al-Alam Syah" atau "... ibnu
Sultan Fathani al-Alam Syah".
Sebagaimana disebutkan bahwa salah
seorang guru Syeikh Abbas Aceh adalah Syeikh Ahmad / Muhammad al-Marzuqi, pada
Mukadimah juga Syeikh Abbas Aceh menyebut ulama itu dengan
"Syaikhuna". Dia juga menyebut karya ulama itu yang berjudul Syarh
Natijati Miqat sebagai pegangannya mengenal 'ilmu Nujum' (ilmu perbintangan
atau astronomi).
Sebagaimana pada judul artikel ini telah
penulis sebutkan bahwa Syeikh Abbas Aceh adalah seorang astronom dunia Melayu.
Astrologi adalah disiplin ilmu yang
membicarakan baik dan buruk manusia yang dihitung menurut perjalanan
perbintangan, planet dan bulan.
Sebenarnya Sirajuz Zhalam bukan hanya
membicarakan persoalan itu saja, tetapi adalah bersifat menyeluruh, bab
pertama, mengenal sejarah bulan Arab. Tentang ini Syaikh Abbas Aceh merujuk
kepada kitab Wasilatut Thullab karya Syeikh Yahya bin Muhammad al-Hattab
al-Maliki.
Dimulai dengan perpindahan Nabi s.a.w.
dari Mekah ke Madinah, awalnya dengan hisab itu pada hari khamis, dan dengan
ru'yat itu pada hari Jumat. Dibicarakan pula istilah tahun kabisah dan basitah
dan lain-lain.
Pendek kata kitab Sirajuz Zhalam adalah
merupakan sebuah kitab yang bercorak sains yang merupakan pembuka jalan untuk
kita membandingkan dengan buku-buku ilmu pengetahuan modern dalam bidang ilmu
falakiyah, hisab, astrologi / astronomi dan sebagainya.
Baik pada tingkat awal bahkan sampai
sekarang memang tidak banyak ulama dunia Melayu kita membicarakan ilmu yang
itu, apakah yang tersebar berupa bahan tercetak dan yang bercorak klasik
satu-satunya hanyalah kitab Sirajuz Zhalam.
Yang berupa manuskrip pula bisa
dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan. Dalam koleksi penulis, terdapat sebuah
manuskrip yang tidak diketahui nama pengarangnya.
Penutup karyanya itu, Syeikh Abbas Aceh
menganjurkan supaya merujuk kepada kitab-kitab yang terkenal yaitu Risalah Imam
Ja'far as-Shadiq, Risalah Abu Ma'syaril Falaki, Wasilatut Thullab, 'Umdatut
Thalib, Syamsul Ma'arif al-Kubra, Syarhu Nazhmi Natijatil Miqat, Syarhu Sirajil
Munir, Syarhu Nazhmil Kawakib, dan banyak lagi yang tidak ia menampilkan tetapi
disebut di beberapa tempat di antaranya Qanunus Siyasah.
Ada pun Kitabur Rahmah, menurut M. Adnan
Hanafiah, kandungannya membicarakan ilmu tabib dan obat-obatan. Tazkiratul
Rakidin, peringatan bagi yang terlambat dalam bentuk puisi dan prosa dalam
bahasa Malayo-Aceh. Mau'izhatul Ikhwan, yaitu pengajaran kepada teman, karya
ini berbentuk prosa dalam bahasa Malayo-Aceh juga.
Menurut M. Adnan Hanafiah juga, bahwa
Syeikh Abbas Kutakarang mengatakan dalam risalahnya, "segala bentuk
perbuatan yang memberi manfaat kepada kafir dihukumkan orang itu menjadi
kafir".
Barangkali pemikirannya itu mencerminkan
bahwa dia adalah seorang ulama yang sangat anti terhadap Belanda yang melampaui
batas dan menjajah Aceh pada zaman itu.
Sumber Artikel : Mehrir
Comments
Post a Comment